Dasar hukum perbankan syariah di Indonesia
hukum pelaksanaan perbankan
syariah di Indonesia terbagi dalam dua bagian yaitu dasar hukum
normatif dan dasar hukum formal. Keduanya secara simultan memberikan kekuatan
hukum berlakunya perbankan syariah di
Indonesia. Dasar hukum normatif berasal dari hukum Islam yang bersumber dari Al
Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Ketentuan ini akan dikeluarkan dalam bentuk Fatwa
Dewan Syariah Nasional.
Kekuatan mengikat fatwa itu bersifat normatif, artinya fatwa
itu hanya mengikat, pertama bagi yang mengeluarkan atau yang mengfatwakannya,
dan kedua mengikat bagi yang menerimanya atau yang menundukan diri atas fatwa
itu. Karena sifat dan kekuatannya seperti itu, maka berlakunya belum secara
mutlak bagi seluruh umat Islam. Berbeda halnya jika ketentuan itu langsung dari
Al Qur’an dan Sunnah, secara otomatis langsung mengikat bagi umat islam di
Indonesia.
Hukum Islam yang terbangun dari dari sumber yang pokok dan
terbentuk dari proses ijtihad merupakan norma atau kaidah hukum yang hanya
memiliki kekuatan mengikat jika di akui, diterima, dan di laksanakan oleh umat
Islam sesuai dengan tingkat kesadaran dan keimanannya. Sedangkan dasar hukum
formal merupakan ketentuan yang telah melalui proses positivisasi atau
formalisasi oleh Negara melalui lembaga Legislatif dan Bank Indonesia sebagai
lembaga yang memiliki otoriter terhadap Perbankan Indonesia.
Dasar hukum peraturan perundang undangan nasional:
1. Pancasila sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. UUD 1945 pasal 29
Ekonomi Islam mengajarkan tegaknya nilai nilai keadilan,
kejujuran, transaparansi, anti korupsi dan eksploitasi artinya misi utamanya
adalah tegaknya nilai nilai ahlak dalam aktivitas bisnis baik individu,
perusahaan maupun Negara. Penerapan hukum ekonomi syariah memiliki dasar yang
sangat kuat. Ketentuan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dengan menyatakan Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada dasarnya mengandung tiga makna:
Negara tidak boleh membuat peraturan perundang undangan atau
melakukan kebijakan kebijakan yang bertentangan dengan keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa,
Negara berkewajiban membuat peraturan perundang undangan
atau melakukan kebijakan kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memeluknya,
Negara berkewajiban membuat peraturan perundang undangan yang
melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
Melaui ketentuan dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 seluruh
syariat Islam khususnya yang menyangkut hukum bidang muamalah pada dasarnya
dapat di jalankan secara sah dan formal oleh muslimin baik langsung maupun
tidak langsung dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasional.
3. Undang undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
di ubah dengan Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Di berlakukannya Undang undang No. 7 tahun 1992 maka bank
Islam di akomodasi dalam Undang undang tersebut dengan nama bank bagi hasil.
Maka sejak saat itu di Indonesia mengenal dual banking system yaitu bank
konvensional dan bank bagi hasil.
Dalam Undang undang No. 7 tahun 1992 pasal 6 huruf m jo pasal
13 huruf c dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik Bank Umum maupun Bank
Perkreditan Rakyat. Kemudian dalam Undang undang no 10 tahun 1998 khususnya
pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Selanjutnya angka 13 menyebutkan bahwa “prinsip syariah
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperolah
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.
4. KUH Perdata pasal 1338
bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya disamping apa yang
atur dalam Undang undang juga yang tidak diatur dalam undang undang tetapi
masuk dalam perjanjian maka hal tersebut sama kekuatannya dengan undang undang
dan apabila di langgar maka bisa di tuntut didepan pengadilan. Di samping itu
KUH Perdata juga mengatur tentang asas kebebasan berkontrak bahwa para pihak
bisa membuat perjanjian/kontrak di luar apa yang diatur dalam Undang Undang
asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan dan ketertiban umum.
5. peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal
14 oktober 2004 tentang Bank Umum
Yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Dan untuk BPRS yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004
tanggal 1 juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Read more http://rimaru.web.id/dasar-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia/
Read more http://rimaru.web.id/dasar-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar