Jumat, 11 Januari 2013

ANALISIS KRISIS EROPA

Krisis utang Eropa yang dipicu dari tumbangnya perekonomian Yunani menimbulkan efek domino terhadap negara-negara di kawasan tersebut. Penularan krisis yang kemudian terjadi ke Spanyol, Portugal, dan terakhir merembet ke Italia, dan mengakibatkan mundurnya Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi merupakan salah satu tanda bahwa krisis makin memburuk.
Memburuknya perekonomian di kawasan Eropa juga disusul dengan melambatnya pemulihan ekonomi dan angka pengangguran di Amerika Serikat yang mencapai 9%. Secara global, masalah ini jelas akan berpengaruh terhadap kondisi ekonomi internasional.
Namun demikian, bagaimana dengan kondisi masyarakat di dua kawasan tersebut dalam menyikapi krisis ini? Jelas, terjadinya situasi tidak menentu ini berakibat pada semakin berkurangnya belanja masyarakat.
Akan tetapi masyarakat golongan apa? Ternyata pegetatan ikat pinggang ini tidak hanya terjadi pada golongan masyarakat menengah ke bawah, tetapi termasuk masyarakat menengah atas. Sebagian besar dari masyarakat yang tinggal di kawasan Eropa beranggapan bahwa penyatuan mata uang euro menjadi pemicu utama tepuruknya kondisi ekonomi masing-masing negara.
Sebelum terjadinya krisis utang Eropa, beberapa negara a.l. Italia, Prancis, Spanyol, dan Belanda telah merasakan akibat buruk dari penggunaan mata uang tunggal. Negara-negara itu merupakan tempat tujuan wisata yang tidak pernah sepi pengunjung.
Pada setiap liburan musim panas, sebelum tahun 2000, empat negara di Eropa ini selalu masuk daftar teratas sebagai tempat tujuan para wisatawan, khususnya Amerika Serikat.
Setelah penyatuan mata uang, sepanjang jalan Milan yang berjejer butik-butik kelas satu yang memamerkan adibusana dari perancang kelas atas Italia, mulai sepi pengunjung.
Pascadiberlakukannya mata uang tunggal Eropa, biaya hotel, tiket, dan akomodasi di sejumlah negara kawasan ini melonjak pada tingkat yang tidak terkira. Tidak hanya tiket dan hotel, namun demikian biaya makan untuk ukuran menu yang sederhana saja sudah tiga kali lipat kenaikannya.
Contohnya saja untuk makanan junk food seperti burger, dikenakan harga minimal 6 euro dan jika meminta tambahan saus tomat maka dikenakan biaya sekitar 50 sen.
Krisis utang yang terjadi di Eropa membuat pemerintah berlomba-lomba untuk memangkas jaminan sosial untuk warganegaranya. Pemangkasan sejumlah jaminan sosoial ini membuat masyarakat mulai mencari pekerjaan di negara lain seperti Kanada.
Sementara itu, warga Eropa yang biasanya mencari pekerjaan di Amerika Serikat, tidak dapat tertampung karena di negara Paman Sam sendiri, angka pengangguran sudah mencapai 9%, dimana pemerintahan Obama hampir setiap hari mendapatkan kritik dari kaum oposisi.
Bagaikan penyakit menular, krisis keuangan tersebut kemudian juga terjadi di negara lainnya. Tahun 2011 krisis keuangan global kembali terjadi dan memuncak, kali ini di kawasan Eropa. Menarik untuk menelusuri, apa sebenarnya yang terjadi di negara-negara Eropa sehingga salah satu kawasan termakmur di dunia ini kemudian terjerat dengan polemik yang dikhawatirkan bisa meruntuhkan sistem one single currency yang mereka miliki. Menelusuri krisis Eropa secara sederhana bisa dilakukan dengan mengurutkan kronologis yang terjadi di sana.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa kawasan Eropa yang dimaksud di sini adalah semua negara yang tercakup di dalam Euro Zone, negara yang menggunakan Euro sebagai mata uang tunggal di wilayah ini. Saat ini terdapat 17 negara anggota yang tergabung dalam Euro area, yakni: Austria, Belgia, Cyprus, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Luxembourg, Malta, Belanda, Portugal, Slovakia, Slovenia, dan Spanyol. Dengan menekan perjanjian sebagai anggota Euro Zone, maka semua negara anggota diharuskan memenuhi kewajiban yang telah disyaratkan untuk dapat mempertahankan stabilnya perekonomian di kawasan ini. Tidak semua negara EU berada dalam keadaan keuangan yang “makmur”. Negara dengan sistem perekonomian terkuat adalah Jerman dan Prancis, sementara yang berada di posisi lemah diantaranya adalah Portugal, Itali, Irlandia, Yunani (Greece), dan Spanyol. Kelima negara tersebut, sayangnya, kemudian harus rela dijuluki dengan akronim PIIGS yang berasal dari huruf depan masing-masing negara. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Eurostat, rasio hutang pemerintah terhadap GDP dari negara-negara Eropa meningkat dari 74.4% di tahun 2009 menjadi 80.0% di tahun 2010. Seperti yang diperkirakan sebagai negara pemicu terjadinya krisis Eropa, Yunani adalah negara dengan rasio hutang tertinggi yakni dengan rasio sebesar 142.8% dari hutang pemerintah terhadap GDP, disusul dengan Italia (119.0%), Belgia (96.8%), Irlandia (96.2%), Portugal (93.0%), Jerman (83.2%), Prancis (81.7%) Hungaria (80.2%), dan United Kingdom (80.0%). Rasio hutang terhadap GDP yang tinggi dan ketidakmampuan beberapa negara untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan membayar hutang tersebut adalah salah satu pemicu terjadinya krisis eropa. Perkembangan krisis eropa memang belum berhenti sampai di sini, saat ini para pemimpin Eropa terutama Perdana Menteri Jerman, Angela Merkel, dan Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, tengah menggodok rancangan untuk dapat menyelesaikan krisis di wilayah eropa. Apakah Euro Zone akan bertahan dan meneruskan keberhasilannya sebagai pelopor integrasi mata uang seperti yang digadang-gadang selama ini, atau sebaliknya justru runtuh dan memicu krisis di wilayah lain? Itulah pertanyaan yang masih harus dicermati perkembangannya, dan juga harus tetap diperhatikan bagi pemerintah Indonesia walaupun sejauh ini imbas dari krisis yang terjadi belum terlalu mempengaruhi perekonomian Indonesia yang cenderung stabil.

Bagi Indonesia, situasi krisis di Eropa memberikan pelajaran berharga karena merupakan konsekuensi dari keterbukaan dan kerja sama ekonomi. Saat ini kita sedang menimang-nimang ide Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) sebagai kelanjutan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). Kerja sama ini tentu diharapkan ke depan menjadi seperti UE.

Secara singkat terdapat dua pelajaran yang dapat kita ambil dari fenomena Yunani, Irlandia dan Euro ini.

Pertama : Krisis Utang, Bahaya utang sangat besar bagi sistem ekonomi nasional. Dengan mengubah utang menjadi ekuitas maka cost of fund akan semakin rendah dan risiko default akan bisa dihindari. Dalam utang kita di Indoensia merasa agak tenang karena UU kita membatasi jumlah utang negara tidak melebihi 2-3% dari GDP. Ini membuat pemerintah tidak bisa sembarangan meraup dana utang dari pasar internasional, dari IMF, World bank maupun dari G to G.
Kedua: Pembentukan mata uang tunggal khususnya yang direncanakan ASEAN misalnya harus direncanakan lebih hati hati dan harus melihat dan mempelajari apa yang dialami oleh Uni Eropa, sehingga krisis Euro yang terjadi saat ini bisa dihindari
Pertanyaan Kedua
a. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara IRP dan PPP
b. Jelaskan kenapa kurs valas oleh pemerintah harus ada dalam kasus PPP!
Jawab :

a. Persamaan Interest Rate Parity (IRP) dan Purchasing Power Parity (PPP)

• Kedua teori IRP dan PPP menjelaskan hubungan antara inflasi, tingkat bunga dan Kurs.
• Menurut teori tersebut perbedaan inflasi dan tingkat suku bunga antara 2 negara akan mempengaruhi perubahan kurs.

Perbedaan Interest Rate Parity (IRP) dan Purchasing Power Parity (PPP)

Purchasing Power Parity (PPP)

- Menghubungkan kurs valas dengan harga-harga komoditi dalam mata uang local pasar internasional yaitu bahwa kurs valas akan cenderung menurun dalam proporsi yang sama dengan laju kenaikan harga.

- Kurs spot suatu valas akan berubah sebagai reaksi terhadap perbedaan inflasi antara 2 negara. Artinya daya beli seorang konsumen ketika membeli barang di negaranya sendiri akan sama dengan daya beli ketika mengimpor barang dari negara lain.

Interest Rate Parity (IRP)

- Menerangkan bagaimana hubungan bursa valas atau forex market dengan international money market (pasar uang internasional) atau dengan kata lain teori ini menganalisis hubungan antara perubahan kurs valas dengan perubahan tingkat bunga.
- Perbedaan tingkat bunga (securities) pada international money market akan cenderung sama dengan forward rate premium atau discount.Kurs forward suatu mata uang mengandung premi ditentukan oleh perbedaan suku bunga antara 2 negara. Akibatnya, arbitrase suku bunga yang ditutup akan jauh lebih menguntungkan dibanding suku bunga domestic.

b. Jelaskan kenapa kurs valas oleh pemerintah harus ada dalam kasus PPP!

Pemerintah menggunakan teori Paritas Daya Beli (Purchasing power parity)sebagai dasar utama penentuan kurs mata uang asing. Dalam merangsang ekspor dan mencegah impor kurs harus mencerminkan Purchasing Power Parity, artinya bahwa daya beli satu rupiah di Jakarta adalah sama dengan daya beli rupiah di Singapura, Hongkong, ataupun tempat lain diseluruh Dunia (Anwar Nasution, 1988 : 21). Misalnya harga 1 kg buah apel-USA pada dua tempat sebagai berikut:

Rp 8.000/Jakarta = New York/1 USD

Ini berarti bahwa harga 1 kg apel-USA = Rp 8.000 = USD1
Dengan demikian, kurs valas atau forex rate Rp/USD berdasarkan paritas daya beli dari masing-masing mata uang adalah sebesar Rp. 8000/USD.
Namun, dalam kenyataannya sering terbukti bahwa kurs valas atau forex rate yang
diperhitungkan berdasarkan teori PPP absolut tersebut tidak sesuai dengan kurs valas yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal demikian, terjadi over valuation atau under valuation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar